Nurul Ariska Ferani

Nurul Ariska Ferani sudah lebih dari 15 tahun lebih berpengalaman sebagai konsultan dan audit.  Riska, sapaan akrabnya, berlatar pendidikan terakhir adalah Magister Akuntansi dari Universitas Indonesia, sehingga tidak heran jika ia menguasai bidang akuntansi, audit, pajak, sumber daya manusia, peningkatan kapasitas, administrasi, procurement.

Riska bekerja di Yayasan Penabulu sejak tahun 2009 dan mengelola berbagai jenis proyek dari berbagai donor seperti KNCV; DERAP; SUM I dan SUM II. Ia juga melakukan pendampingan persiapan audit bagi Yayasan Terangi dan Satu Dunia; memfasilitasi penyusunan SOP Keuangan, Administrasi, dan SDM bagi Yayasan SMERU, Satu Dunia, Yayasan Conversation, dan lain-lain. Riska juga berpengalaman dalam mengajar pada proyek yang diimplementasikan oleh Yayasan Anak Bangsa, Samdhana, dan lain-lain.

Di waktu senggangnya, Riska bekerja pula di sektor swasta. Sejak 2019 hingga kini, ia bernaung di bawah PT Nautika Dira Tira dan PT Codass Prima Indonesia. Di kedua perusahaan tersebut, Riska menggeluti bidang keuangan, administrasi, dan perpajakan. 

Riska juga pernah membantu salah satu unit proyek Pemerintah yaitu Persiapan Proyek SSF (Strengthening Social Forestry) yaitu proyek kerjasama antara KLHK dengan Bank Dunia. Dalam proyek ini Riska berperan menyusun anggaran, menyusun laporan keuangan, dan melakukan input data keuangan dalam sistem DIPA.

Untuk mencapai suatu target besar, sangat penting mengatur tata kelola organisasi terlebih dahulu., sehingga proyek berjangka pendek dan berjangka panjang dapat dikemas menjadi mesin penggerak organisasi. Setiap pelaku organisasi wajib memahami cashflow sebagai fondasi utama likuiditas mesin organisasi.

Adam Kurniawan

Adam Kurniawan, memiliki kalimat sakti “Cara terbaik memprediksi masa depan adalah dengan menciptakannya”. Aktif di WALHI sejak masih duduk di bangku kuliah hingga kini. Pada 2010 mendirikan Balang Institute di kampung halaman. Bersama Balang Institute Indonesia, Adam dan kawan-kawan mendorong insiatif masyarakat dalam mengakses dan mengelola sumber daya alam, serta memobilisasi sumberdaya untuk mendukung inisiatif yang tumbuh dari pengorganisasian masyarakat. Baginya, terus bergerak dan saling memperkuat adalah jalan menciptakan masa depan yang lebih baik.

Semenjak aktif di Walhi Sulawesi Selatan, Adam menduduki posisi sebagai Kepala Departemen Pengorganisasian Rakyat pada tahun 2006-2009. Kala itu ia mendampingi petani Takalar yang sedang berkontra dengan PTPN XIV dan mendampingi kaum miskin kota di Makassar kala berurusan dengan mafia tanah. Tahun 2009-2010 Adam menjadi fasilitator Access-Ausaid dalam kerja-kerja penguatan kelembagaan 6 (enam) BUMDes di Kabupaten Bantaeng.

Pada 2010, Adam turut mendirikan Balang Institute dan ditunjuk menjadi Direktur hingga 2014. Sempat bekerja untuk ICRAF pada 2014-2016 dalam proyek AGFOR Sulawesi yang mendorong lahirnya Regulasi Imbal Jasa Lingkungan di Bantaeng dan Bulukumba. Tahun 2017-2020 Adam kembali ke Balang Institute dan mengembangkan beragam inovasi berorientasi pada penggunaan lahan dan pemenuhan kebutuhan dasar untuk mengakses sumber pendanaan alternatif. Kini, Adam mendapat mandat untuk menduduki posisi di Dewan Eksekutif Nasional Walhi sejak tahun 2021.

Sejak 2007, banyak hal yang sudah dilakukan Adam, terutama di bidang advokasi lingkungan. Pada 2007-2009 Adam mendampingi pembentukan dan penguatan Serikat Tani Polombangkeng dan Persatuan Rakyat Kassi-kassi (warga pemukiman kumuh di Makassar); ia juga memfasilitasi penguatan kelembagaan 6 (enam) BUMDes di Kecamatan Uluere, Kabupaten Bantaeng pada 2009-2010; pada 2010-2014 Adam mendampingi penguatan kelembagaan Pengelola Hutan Desa Labbo, Desa Pattaneteang, dan Desa Campaga hingga mampu menyusun Rencana Kelola Hutan Desa; menjadi Konsultan dalam Project AGFOR Sulawesi yang menghasilkan Peraturan Bupati Bantaeng tentang Jasa Lingkungan di Bantaeng dan Peraturan Daerah Kabupaten Bulukumba tentang Masyarakat Adat Kajang di Bulukumba dilakukannya pada rentang waktu 2014-2016; pada tahun 2017-2019 Adam mendamping penguatan kelembagaan dan pengembangan usaha Koperasi Akar Tani hingga dapat mengakses pinajamn modal dari BLU KLHK untuk menjalankan usaha produksi kopi.

Bahrul Fuad (Cak Fu)

Bahrul Fuad, dikenal dengan panggilan Cak Fu, sejak 1996 telah aktif dalam gerakan inklusi disabilitas. Sebagai seorang yang terlahir dengan disabilitas, Cak Fu aktif memperjuangkan kesetaraan hak untuk penyandang disabilitas dan dipercaya oleh beberapa lembaga baik nasional maupun internasional untuk menjadi konsultan dan narasumber di bidang inklusi disabilitas.

Cak Fu adalah aktivis sejati yang memperjuangkan inklusi disabilitas sejak 1996. Pada 2006 ia mendirikan Paguyuban Daya Mandiri Surabaya, tahun 20018 hingga sekarang menjadi Anggota Dewan Penasihat Australia Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN), sejak 2019 menjadi Anggota Dewan Penasihat Netherland Leprosy Relief (NLR) Indonesia, serta pada 2021 mendapat amanah sebagai Ketua Dewan Penasihat Yayasan UCP Roda untuk Kemanusiaan.

Dalam bidang profesional, Cak Fu adalah pribadi yang diandalkan. Hal ini terbukti dengan beberapa peran penting dalam proyek-proyek disabilitas di Indonesia. Pada 2009-2022 ia menjadi Project Manager Social Economic Development for Leprosy People di The Nippon Foundation. Cak Fu adalah salah satu Konsultan Nasional Disability and Rehabilitation NLR Indonesia pada 2011-2012. Ia merupakan Research Associate pada PUSKAPA UI pada periode 2013-2017. Sempat juga Cak Fu menjadi Konsultan Nasional Disabilitas dan Inklusi Sosial pada TAF Foundation di tahun 2017-2019. Dan kini Cak Fu merupakan salah satu Anggota Komisioner Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada periode jabatan 2020-2024.

Dibalik kegigihannya mengadvokasi inklusi disabilitas, Cak menyenangi travelling. Baginya sebagai pengguna aktif kursi roda, traveling dapat menjadi salah satu cara mengadvokasi kebutuhan penyandang disabilitas di area-area publik.

Rival Gulam Ahmad

Dikenal dengan nama Rival Ahmad. Dia lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia tahun 2000 dan mengantongi ijazah Master of Law dari Melbourne Law School pada 2009. Keahlian utamanya teori dan metode sosio-legal, legislative drafting, dan pemikiran hukum. Minat risetnya pada isu keadilan ekologi, keadilan multispesies, keadilan sosial. antropologi legislasi, dan pendidikan hukum dan pembelajaran.

Rival menjadi peneliti hukum dan sosial sejak 1998 di PSHK, menjadi pengurus inti PSHK dari 1998-2007, sambil menjadi pengajar di FHUI pada 2002-2007. Kemudian mendirikan STH Indonesia Jentera dan menjadi Ketuanya dari 2011-2013. Pada 2013-2015 menjadi program officer di The Asia Foundation. Mendirikan SPASIA dan menjadi Direktur pada 2015-2018. Lantas menjadi Senior Coordinator di program Knowledge Sector Initiative – DFAT pada 2018-2019. Sempat menjadi Manajer Manajemen Pengetahuan di program Kelola Sendang – ZSL pada Maret-Desember 2019, dan bergabung dengan Yayasan Penabulu sebagai Deputi Direktur bidang Kemitraan Strategis dan Direktur Penabulu Research Institute (PRI) sejak Januari 2020 hingga sekarang. Selama 2015 hingga sekarang masih menjadi dosen tidak tetap di STHI Jentera.

Sejak 2001 menjadi trainer untuk legislative drafting dan advokasi kebijakan untuk anggota parlemen, pengurus partai politik, aktivis LSM, dosen, pegawai sektor swasta dan pemerintah, serta aktivis disabilitas dan perempuan. Sejak 2007 menjadi fasilitator untuk pertemuan-pertemuan strategis, perencanaan advokasi kebijakan, perencanaan organisasi dan program, dan monitoring dan evaluasi program untuk program pembangunan, LSM dan perguruan tinggi. Dari 2009 Menjadi trainer untuk penguatan kapasitas kemitraan strategis dan jaringan, penguatan kapasitas fasilitasi dan pelatihan, metode penelitian dan pendidikan hukum, penguatan pengelolaan sumber daya, dan manajemen pengetahuan untuk organisasi LSM, lembaga pemerintah dan organisasi seni dan budaya.

Rival sangat tertarik pada penguatan manusia dan organisasi sosial yang menggunakan pendekatan pemikiran sistem dan kompleksitas, riset sosial lintas dan transdisipliner, dan perspektif budaya dalam perencanaan dan pengelolaan program.

Gregorius Sahdan

Gregorius Sahdan, yang lebih populer dengan nama Goris Sahdan, menyelesaikan pendidikan S1 di Sekolah Tinggi Pembangunan Masyarakat Desa “APMD” dan S2 di Program Studi Ilmu Politik FISIPOL Universitas Gadjah Mada. Saat ini Goris sedang menempuh S3 di Departemen Politik dan Pemerintahan FISIP Universitas Diponegoro. Sebagai aktivis ‘98, Goris sering terlibat dalam demo kepada Pemerintah Orde Baru. Goris sehari-hari bekerja sebagai staf pengajar pada Program Studi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” dan menjadi Ketua Prodi Ilmu Pemerintahan STPMD “APMD” Periode 2015- 2019 dan 2020 hingga sekarang. Selain dosen, Goris juga aktif di Asosiasi Dosen Ilmu Pemerintahan Seluruh Indonesia (ADIPSI) sebagai Sekjen periode 2016-2021.

Sebagai aktivis era Orde Baru, Goris aktif di berbagai organisasi. Pada 1999 hingga 2001 Goris merupakan Presidium Gerakan Kemasyarakatan PMKRI Yogyakarta. Tahun 2006 atas dukungan Konrad Adenauer Stiftung (KAS), Goris mendirikan The Indonesian Power of Democracy (IPD). Atas keahliannya di bidang demokrasi, Goris pernah menjadi Tenaga Ahli Komisi II DPR RI pada tahun 2011-2014. Sempat menjalin kerjasama dengan Badan Pengkajian MPR RI pada tahun 2018. Dan sejak tahun 2020 Goris masuk dalam jajaran Pengurus Pusat PMKRI sebagai Wakil Sekjen Bidang Otonomi Daerah, Pembangunan Desa dan Perbatasan.

Sebagai dosen, Goris Sahdan juga aktif dalam kegiatan di luar kampus. Tentu dengan isu yang tidak jauh dari hal yang menjadi concern-nya, politik dan demokrasi. Bersama The Indonesian Power for Democracy (IPD) yang ia dirikan, Goris aktif menulis buah pikirannya di berbagai media nasional (Kompas, Media Indonesia, dan Suara Pembaruan) dan berbagai Jurnal ilmiah.

Tahun 2018, Goris menulis buku berjudul “Mengembangkan Sistem Perwakilan Politik Berintegritas” yang diterbitkan IPD bersama Badan Pengkajian MPR RI. Buku lain yang ia tulis antara lain Evaluasi Kritis Penyelenggaraan Pilkada di Indonesia; Pilkada dan Kemiskinan di NTT; Petani Buntung di Negeri Sawitl Desa Kuat Negara Berdaulat; Mafia dan Oligarki dalam Pemilu 2019; Oligarki dan Klientelisme dalam Pikada Serentak.

Goris Sahdan berupaya memberikan energi dan pikirannya untuk membela desa dengan pengetahuan dan keterampilan, mengkritik praktik berdesa  dengan demokrasi dan tata kelola pemerintah yang baik, serta memperkuat desa dengan kemandirian ekonomi dan pengembangan potensi.

Rado Puji Santoso

Rado, lahir dan dibesarkan di lingkungan desa yang memiliki potensi besar di pertanian. Hal inilah yang melatarbelakanginya untuk belajar dan mendalami dunia pertanian di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2008.

Semenjak lulus perguruan tinggi, Rado terlibat aktif dalam beberapa organisasi untuk mengasah dan mengembangkan dirinya, diantaranya di Klinik Tanaman IPB sebagai Asisten Riset Laboratorium dan Lapangan pada 2013 – 2014; pada 2014 menjadi anggota riset aksi di Gerakan Petani Nusantara; dan sejak tahun 2014 hingga kini Rado bergabung di Yayasan Penabulu dalam beragam riset dan proyek berbasis konservasi lingkungan hidup.

Dalam pengalaman bersama beberapa organisasi, Rado juga terlibat di beberapa kerja konsultasi dan penyusunan kajian antara lain Kajian Rantai Nilai Rencana Bisnis Lima Komoditas (2015) dengan dukungan ICCO; Kajian Rantai Nilai dan Rencana Bisnis Koperasi Kakao Lhok Sukon dan Kandang Belajar Sapi Rakyat Bojonegoro (2016) dengan dukungan Exxon Mobile; Kajian Rantai Nilai dan Rencana Bisnis Koperasi Kakao di Mahakam Ulu (2016) dengan dukungan WWF; Kajian Rantai Nilai dan Rencana Bisnis Mbilim Kayam di Sorong (2016) dengan dukungan CI Indonesia; Kajian Community Livelohood Apparaisal and Product Scanning (CLAPS) HHBK di Berau (2017) dalam Proyek TFCA Kalimantan; Modul dan Hasil Rapid Assessment Market Paska Bencana Gempa dan Tsunami Palu (2019) dengan dukungan ICCO dan Kerk in Actie; Desk Research CSPO Indonesia (2019) dan Guideline Investment Opportunities of The Private Sector on The Sustainable Food System in Indonesia (2019) dengan dukungan IBCSD; Assessment of Agriculture Livelihood in Southwest Sumba (2020) dengan dukungan WLF; SOP Penanganan Pasca Panen Lada, Pala, dan Kayu Manis bersama Ditjenbun Kementan (2020) dengan dukungan ICCO; dan Kajian Potensi dan Kelayakan Usaha Perkebunan dan Perikanan di Pulau Maluku dan Papua (2021) dengan dukungan EcoNusa.

Pengelolaan sumber daya alam yang berkelanjutan tetap menjadi hal yang menarik bagi Rado dan akan terus digali. Ia ingin menemukan dan membangun komunitas yang mampu mengelola sumber daya alam yang lebih berkelanjutan dan paling ideal.

Dwi Aris Subakti

Aris, demikian biasa disapa, adalah Sarjana Ilmu Sejarah dan Master Ilmu Komunikasi dengan spesialisasi Media dan Komunikasi Politik. Ia memiliki ketertarikan dalam dunia fotografi dan menulis, serta menyukai hal baru. Hal ini karena pengalamannya sebagai jurnalis dan memimpin institusi pers kampus.

Aris memulai karir di dunia LSM saat bergabung di Institute for Media and Social Studies (IMSS) pada tahun 2006 hingga 2008 sebagai peneliti dan koordinator program. Selanjutnya ia bergabung dengan SatuDunia (OneWorld Indonesia) pada tahun 2008-2012 sebagai Knowledge Sharing Officer dan Capacity Building Officer. Sempat juga Aris menjadi Regional Technical Officer untuk proyek Scalling up for Most at Risk Population, yaitu sebuah proyek yang didanai USAID untuk penguatan kapasitas organisasi dalam mendukung program HIV pada populasi kunci sejak 2012 hingga 2015 di bawah manajement Research Triangle Institute. Masih dengan isu HIV/AIDS. Aris mendapat kepercayaan sebagai Regional Technical Officer untuk program Delivering Resources for AIDS Programming yang merupakan project HIV/AIDS dengan pendanaan USAID, pada tahun 2015 hingga 2016 di bawah manajemen PACT Inc.

Sejak 2016 hingga kini, bersama Penabulu, Aris menangani banyak proyek KOMPAK-DFAT, MCAI, Indonesia Business Council for Sustainable Development, SNV, PT. JAPFA Comfeed, IAC, JIP. Saat ini menjadi MEL Manager di PR Konsorsium Komunitas Penabulu-STPI untuk Program Eliminasi TB yang didanai GF.

Ketelatenannya dalam menulis, menjadikannya kaya pengalaman dalam berkutat dengan dokumen organisasi. Aris adalah salah satu personel penting dalam pengembangan protokol CBMF untuk IAC; menyusun laporan advokasi anggaran untuk JIP; menyusun riset “Peluang Pendanaan CSR untuk CSO” yang didukung oleh SNV; serta menyusun Policy Brief KOMPAK tentang Peningkatan Kapasitas Keuangan bagi Frontline Services.

Tidak banyak aktivis LSM yang sangat concern pada menulis, riset sosial, pengelolaan pengetahuan. Aris lah salah satunya.

Sardi Winata

Sardi Winata, lahir dan tumbuh remaja di sebuah kampung kecil di Lombok Utara. Ia merupakan sosok yang humanis dan tak diam menunggu perubahan datang. Sardi selalu haus menjemput perubahan untuk segera hadir dan bertumbuh bersama perubahan itu. Atas dasar itu, maka ia menemukan pengabdian dirinya pada aktivitivisme yang menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

Jiwa aktivismenya tumbuh sejak ia terlibat dalam kelompok studi-kelompok studi di lingkungan kampus. Latar belakang pendidikan sosial (red.sosiologi) meberikannya perspektif dan paradigma gerakan sosial yang kuat untuk melihat pranata sosial masyarakat dan organisasi masyarakat sipil di Indonesia. Persinggungannya dengan banyak komunitas melalui pedekatan pengorganisasian dan riset aksi partisipatoris telah memberikannya pembelajaran yang kuat bagaimana mendorong masyarakat sipil yang berdaya di Indonesia. Sardi menemukan jalur dan ruang yang tepat ketika mulai bergabung dengan Yayasan Gita Pertiwi pada 2011-2013, yang dilanjutkan bersama Yayasan Penabulu pada 2013 hingga kini. Selama hampir 10 tahun bersama Yayasan Penabulu, Sardi juga mengabdikan diri di Yayasan PEKA Indonesia sebagai Direktur Eksekutif periode 2016-2020 dan Manajer Institusi pada Proyek Kelola Sendang ZSL Indonesia pada 2018-2020.

Pengalaman bekerja bersama beberapa organisasi memperkuat keyakinan pada keahliannya dalam melakukan pengorganisasian masyarakat dan riset aksi melalui pendekatan partisiapatoris. Sardi mengembangkan kapasitas dalam pendekatan lobby dan advokasi untuk mendorong kebijakan yang berpihak kepada kelompok marjinal dan terpinggirkan. Dalam catatannya, pada tahun 2013-2015 turut menyusun “Visi Indonesia 2050” dan “Benefit Sharing FCPF Carbon Fund untuk Pendanaan Hijau di Kalimanatan Timur.” Bersama Yayasan Puter Indonesia, Sardi terlibat mengadvokasi lahirnya Peraturan Bupati tentang Batas Desa bagi 20 Desa di Kabupaten Lombok Tengah dan Kabupaten Solok Selatan. Juga pada 2018-2020 ketika bergabung di ZSL Indonesia, Sardi adalah salah satu penyusun dokumen “Rencana Kolaboratif Pengelolaan Berkelanjutan Lanskap Sembilang-Dangku, Sumatera Selatan 2017-2030”.

Hal lain yang dirasa penting untuk dipaparkan, misalnya: perhatian/ketertarikan khusus, keberpihakan tertentu, atau bahkan keterbatasan yang dimiliki, dll.

Deden Ramadani

Deden memiliki latar belakang pendidikan Sarjana Sosiologi dan Magister Kesejahteraan Sosial. Deden memiliki inisiatif tinggi, selalu mencari peluang inovasi, dan adaptif terhadap perubahan.

Sejak 2021, Deden mendapat kepercayaan sebagai Research Manager di Penabulu Research Institute. Selain itu, ia juga berperan sebagai PMEL Specialist untuk Proyek ADAPTASI, yang merupakan kerjasama antara Yayasan Hivos dan Yayasan Penabulu.

Sudah lebih dari tujuh tahun Deden menggeluti riset di aneka ragam isu, mulai dari isu anak, perempuan, seni dan budaya, hingga isu perubahan iklim.

Deden memiliki ketertarikan tinggi pada seni dan budaya, serta perkembangan teknologi dan implikasinya kepada kehidupan manusia dan alam.

Frans Toegimin

Frans Toegimin, berbakti pada negeri sejak tahun 1975, dengan bergabung dengan sebuah LSM s/d 1980. Bukan waktu yang singkat, namun bekerja dalam pelayanan melalui LSM sudah menjadi pilihan hidup. Saat bekerja di Lampung tersebut  banyak tawaran untuk menjadi PNS – yang kala itu jadi idaman banyak orang, Frans tegas menolak karena jiwanya tak cocok berada di sana.

Lebih dari 45 tahun Frans Toegimin berkecimpung di LSM. Setelah dari Lampung (di bawah naungan Wisma Bhakti), pada tahun 1980 – 1985  dipercaya sebagai Pembina Wilayah Bina Swadaya di wilayah Madiun, kemudian bergabung dengan YIS – Yayasan Indonesia Sejahtera sampai 1997. Sebagian tugas utamanya adalah untuk Pengembangan LSM dan sebagai Konsultan KIP – Kampung Improvement Project Bank Dunia di Jakarta. Selanjutnya Frans bergabung dengan Yayasan SATUNAMA pada 1997 sebagai Staf Senior hingga pensiun tahun 2011 sebagai Direktur Eksekutif.

Walaupun sudah pensiun dari SATUNAMA, dalam beberapa waktu Frans masih aktif dalam struktur kepengurusan sebagai Anggota Badan Pengurus. Terakhir, Frans dipercaya sebagai Kepala Departemen Rumah Pembelajaran Kesehatan Jiwa – RPKJ di SATUNAMA. Kecuali aktif menjadi konsultan lepas (khususnya MEL), Frans kini bergabung dengan Yayasan Suara Bhakti Yogyakarta – YSBY sebagai Direktur Unit Program Pemberdayaan Masyarakat.

Hampir 50 tahun berkecimpung sebagai pegiat LSM, menjadikan Frans T sangat kaya pengalaman. Pada 1987, sebagai Koordinator Program Pengembangan LSM di tujuh provinsi, Frans yang pertama kali menghasilkan konsep pengembangan LSM di Indonesia. Saat menjadi konsultan  Bank Dunia untuk mengembangkan Proyek KIP di Jakarta juga menghasilkan konsep pengembangan kampung di perkotaan. Dan selama 20 tahun sejak 1999, Frans banyak melakukan fasilitasi perencanaan strategis untuk LSM dan lembaga pemerintahan. Sebagai salah satu ahli monitoring dan evaluasi, Frans banyak melakukan evaluasi organisasi dan evaluasi proyek sejak 1998 hingga kini. Menurutnya, peran dan fungsi OMS (termasuk LSM) sangat penting dalam negara demokrasi seperti di Indonesia. Untuk itu program penguatan OMS sangat penting agar selalu dapat  berperan secara akuntabel sebagai salah satu pilar penting dalam negara demokrasi.